Mahasiswa Pertanyakan Proses Sertifikat Laut Utara, BPN Sebut Ada Keterlibatan Kepala Desa

oleh -306 Dilihat
oleh
Sejumlah mahsiwa Tangerang berunujuk rasa di depan gedung ATR/BPN Kabupaten Tangerang, Kamis (23/1/2025).

TANGERANG, (JT) – Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Tangerang, geruduk kantor Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Tangerang, Kamis (23/1/2025). Selain menuntut penjelasan soal proses sertifikat laut utara, masiswa juga meminta secara rinci hasil pengukuran yang dilakukan ATR/BPN sebelum terbit sertifikat lahan.

Pantuan di lokasi, sempat terjadi aksi saling dorong antara mahasiswa dengan aparat kepolisian serta Satpol PP setempat, saat mahasiswa mendesak masuk untuk beraudiensi dengan kepala ATR/BPN Kabupaten Tangerang. Setelah perwakilan ATR/BPN menemui mahsiswa di lokasi, dengan semangat tinggi, di bawah guyuran air hujan, sempat terjadi perdebatan panjang antara perwakilan mahasiswa dengan perwakilan ATR/BPN.

Usai debat yang tak berujung tersebut, sejumlah perwakilan ATR/BPN Kabupaten Tangerang, masuk kembali ke gedung kantor meninggalkan para pendemo. Sementara, untuk meluapkan kekesalannya karena tak dapat jawaban riil dari pejabat ATR/BPN, sejumlah mahasiswa langsung membakar ban mobil dan replika kapal nelayan di depan gerbang masuk kantor ATR/BPN Kabupaten Tangerang.

Ketua GMNI Kabupaten Tangerang Endang Kurnia mempertanyakan secara riil proses pengukuran laut sebelum diproses menjadi sertifikat hak milik (SHM), sertifikat hak guna bangun (HGB), sertifikat hak guna usaha (HGU) dan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL), yang diberikan salah satunya kepada PT Cahaya Into Sentosa. Menurut Endang, yang ditimpali rekan hamasiswa lainya, pertanyaan sederhananya, kenapa lahan yang notabene masih berupa laut itu sudah muncul sertifikat.

“Tunjukkan kepada kami, siapa tim ajudikasi dan panitia pengukuran laut tersebut sebelum muncul sertifikat tanah. Siapa saja yang terlibat dalam pengukuran laut, bagaimana prosesnya. Pertanyaan mendasarnya, kenapa lahan yang masih berupa latu, itu muncul HPL??,” tanya mahasiswa dengan tegas.

Endang juga menjelaskan, jika dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) dijelaskan bahwa (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jika saat ini laut dikuasai oleh sekelompok orang atau corporasi, lantas dimana peran negara dalam hal ini ATR/BPN, apalagi sampai mengeluarkan sertifikat hak milik di atas laut.

“Coba bapak-bapak pejabat BPN jelaskan kepada kami, bagaimana prosedurnya sampai-sampai laut itu bisa muncul sertifikat kepemilikan. Bahkan disebut lahan milik adat, milik ulayat, ulayat yang mana??. Tolonglah pak, BPN kerjasnya yang bener, masa tanya cara ukur laut saja tidak dijawab,” tegas Endang.

Pejabat BPN Sebut Keterlibatan Kepala Desa Dalam Proses Sertifikat Laut

Kepala Seksi Sengketa pada ATR/BPN Kabupaten Tangerang Edi Dwi Daryono menjelaskan, prosedur pembuatan sertifikat lahan itu dasarnya adalah permohonan dari pemilik. Laut utara yang sekarang bersetatus SHM, SHGB, SHU dan HPL itu ada pemohon baik dari perorangan maupun dari sejumlah perusahaan.

Dasar kepemilikan lahan itu sendiri menurut Edi, adalah berupa tanah adat atau tanah ulayat, yakni berupa girik-girik atas nama masyarakat. Setelah dialukan proses sertifikat sesuai prosedur yang dilakukan oleh panitia maka munculah seritifikat kepemilikan.

“Prosesnya sudah kami lakukan sesuai prosedur, bahkan selama proses itu kita umumkan dan tidak ada yang menggugat atau menyanggah proses pembuatan sertifikat tersebut,” ujar Edi.

Saat ditanya siapa saja tim yang tergabung dalam panitia pengukuran laut utara tersebut, Edi menjawab ada tim yang dibentuk, diantaranya empat orang dari ATR/BPN dan satu orang kepala desa. Namun hingga saat ini Edi enggan menyebut kepala desa mana yang terlibat langsung dalam pengukuran laut tersebut.

“Pengukurannya dilakukan oleh pihak ke tiga, panitia didalamnya kita ATR/BPN, dan salahsautnya kepala desa. Jadi ada empat orang dari BPN dan 1 orang dari kepala desa,” terang Edi.

Sayangnya Edi enggan menjawab pertanyaan wartawan maupun pertanyaan mahasiswa, saat ditanya siapa saja nama-nama yang terlibat dalam tim pengukuran laut tersebut sebelum diterbitkan sertifikat kepemilikan. Edi langsung bergegas masuk ke ruang ATR/BPN dengan pengawalan ketat, sehingga para awak media tak mendapat penjelasan lebih detail soal pengukuran laut pantura.

“Audiensi dan diskusi yang penting ini sudah selesai. Sesuai dengan prosdur yang ditangani BPN pusat, kita tunggu sasaja dari kementerian, sesuai perintah pak menteri. Semua dasarnya dari BPN, baru dianu sama pak menteri, pak menteri baru melihat datanya dengan pimpinan tinggi kita di kabupaten dan provinsi prosesnya. Tidak ujug-ujug membuat sertifikat begiu saja, ada beberapa administrasi,” tandasnya.

Sebelumnya, viral di media sosial maupun di media mainstream soal pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer di laut utara Tangerang. Setelah viral turun berbagai pihak untuk melakukan tindakan. Kementerian Kelautan dan Perikatan (KKP) dan TNI Angkatan Laut turun langsung untuk membongkar pagar bambu yang dinilai merugikan masyarakat terutama para nelayan ini.

oleh
Editor: Putra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *