Oleh : Darmanto
Bagian 2
Penolakan Kosipa atau Bank Keliling hendaknya bukan sekedar euforia, latah, atau ikut-ikutan tanpa adanya solusi. Jika dengan dalih merugikan beri yang menguntungkan, jika dengan dalih Haram beri yang Halal, jika dengan dalih meresahkan maka beri yang menentramkan.
Dengan tidak bermaksud berat sebelah (saya pinjam istilah dalam perwasitan) penulis ingin mendudukan perkara ini dengan sedikit bijak. Penolakan dan pelarangan Kosipa secara serta merta justru akan menambah persoalan baru di masyarakat, terutama bagi yang sudah gandrung dengan kosipa. Usaha mereka akan bangrut, aktivitas perekonomiannya akan terhenti, ini akan menjadi masalah baru yang tidak menutup kemungkinan akan menambah angka kriminalitas di tengah-tengah masyarakat, akibat hilangnya mata pencaharian seseorang.
Mari kita evaluasi kebelakang, bagaimana upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan tarap hidup masyarakat lemah. Tahun 1992 Bank Muamalat Indonesia (BMI) telah membuka celah munculnya usaha untuk mendirikan bank dan lembaga keuangan mikro, seperti Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) untuk memperluas pelayanannya termasuk di Banten. Lahirnya BMT tujuannya adalah terciptanya sistem, lembaga, dan kondisi kehidupan ekonomi rakyat banyak yang dilandasi oleh nilai-nilai dasar salam (keselamatan) berintikan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan (Ridwan, 2013 : 26). BMT dapat menjangkau masyarakat daerah hingga ke pelosok pedesaan sekaligus memfungsikan perannya untuk menjauhkan masyarakat dari praktik riba, melakukan pembinaan dan pendanana usaha kecil, melepaskan ketergantungan pada renternir dan menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata.
Keberadaan Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan BMT yang telah dikonsep melalui perencanaan yang matangpun tidak dapat bertahan lama, satu persatu BMT di Banten menghilang entah apa penyebabnya.
Pada era Presiden BJ. Habibie misalnya, melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diglontorkan melalui Kementrian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah di bawah naungan Koprasi yang dinahkodai oleh Adi Sasono sebagai Mentri Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah saat itu, memberikan harapan sekiranya perekonomian rakyat kecil akan bisa bangkit dengan dibentuknya koperasi-koperasi di setiap pelosok. Karena lemahnya pengawasan terhadap program tersebut ternyata koprasi menjadi sasaran empuk para penjahat ekonomi yang terus menggerogoti kebijakan ini. Koperasipun tak bertahan lama dan menghilang, tersisalah Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa).
Pada jaman era pemerintahan Gusdur. Gusdur melakukan perubahan orientasi ekonomi dengan keberpihakan kepada pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil menengah (UKM). Dengan tujuan utama tercapainya masyarakat yang makmur dan sejahtera. Melalui program KUT (Kredit Usaha Tani) Gusdur mencoba membarikan peluang kepada para petani dan nelayan untuk dapat menikmati permodalan secara mudah melalui perbankan, namun program ini diretas oleh para mafia dan konglongmerat berdasi, sehingga KUT sering dipelesetkan menjadi kata “Ketua Untung Tiheula” (Bahasa sunda artinya Ketua Untung Duluan). Triliyunan rupiah uang negara tersebar dengan tidak tepat sasaran, akhirnya KUT banyak menyeret para pengusaha dan politikus masuk Penjara. Rakyat tetap saja tidak sejahtera, Kosipa masih tetap menjadi jalan alternatif.
Program BLT dan PKH serta bantuan sosial (Bansos) lainnya diera sekarang terus diglontorkan secara ugal-ugalan, terlepas tepat sasaran atau kurang tepat sasaran itu semua adalah program yang berpihak pada masyarakat kecil yang bertujuan mengentaskan angka kemiskinan. Lagi-lagi program yang dicanangkan belum mampu menjawab permasalahan untuk melepaskan masyarakat dari cengkraman rentenir yang berkedok Kosipa.
Sejenak penulis ingin mengajak para pembaca untuk menengok perkembangan Baitut Tamwil Muhamka (BTM) sebuah lembaga keuangan mikro milik persyarikatan Muhammadiyah di Pekalongan Jawa Tengah, tepatnya di Jl. Pahlawa Gejlik, Kajen Pekalongan Jawa Tengah yang didirikan pada tanggal 5 Juni 1996 hingga saat ini masih berdiri kokoh dan mentereng di tengah-tengah terpaan hiruk pikuknya persaingan global dan pertumbuhan Bank Konfensional. Seingat penulis tahun 2018 yang lalu asetnya sudah mencapai 173 Milyar Rupiah. Keberadaan BTM milik Muhammadiyah di Pekalongan sangat diapresiasi oleh Pemerintahan setempat bahkan menjadi mitra. Bupati Pekalongan kala itu Asip Kholbihi saat peresmian kantor pusat BTM Pekalongan mengatakan peran dan fungsi BTM Muhammadiyah Pekalongan banyak dirasakan banyak oleh masyarakat Pekalongan.
Hal itu nampak pada pertumbuhan ekonomi di Pekalongan. Secara makro, kinerja keuangan Kabupaten Pekalongan pada tahun 2018 menunjukkan bahwa Laju Percepatan Ekonomi sebesar 5,35% lebih tinggi dari capaian tahun 2017 yang 5,28% dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan harga konstan Rp15,435 miliar dan Dapat ditingkatkan hingga mencapai 3,08 atau lebih rendah 0,93% dari tahun 2017. Dengan pertumbuhan ekonomi tersebut Asip Kholbihi menyakini, salah satu faktornya karena keberadaan BTM di Pekalongan yang memiliki kontribusi terhadap pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Saat ini BTM Muhammadiyah sudah memiliki 13 Cabang. Barangkali BTM milik Muhammadiyah di Pekalongan bisa menjadi rujukan untuk Banten.
Saran penulis Pemerintah harus segera melakukan 5 hal :
1. Penolakan dan pemboikotan Kosipa harus disertai penertiban dan pembinaan, ajak seluruh pemilik Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa) yang ada di Banten untuk taat aturan perbangkan. Jika pemilik kosipa menolak aturan perbangkan syariah atau melanggar ketentuan maka Pemerintah malakukan evaluasi terhadap Izin Oprasionalnya dan ditutup.
2. Kembangkan Program Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dan BMT (Baitul Maal Wattanwil) atau BTM (Baitut Tamwil) dibarengi dengan penambahan modal serta memperbaiki system pelayanan dan memperluas jangkauan, ciptakan regulasi yang memudahkan konsumen (seperti pelayanan Kosipa jangan tiru pola rentenirnya) serta lakukan pola digitalisasi pelayanan dan peningkatan SDM.
3. Penyaluran Zakat Produktif melalui Baznas harus menyasar masyarakat lemah sampai ke kampung-kampung dengan melibatkan petugas Baznas setempat. Bukan aparatur pemerintahan.
4. Lakukan pembinaan para pengelola Koperasi, BTM, BMT, Baznas dan BPRS secara rutin untuk peningkatan Profesionalitas dan peningkatan SDM.
5. Lakukan pengawasan secara berkala.
Dengan tidak terlalu mengeluarkan banyak energi dan menimbulkan huru-hara untuk mencegah Kosipa jika solusi sudah ada cepat atau lambat masyarakat akan hijrah dari yang haram ke yang halal.
Wassalam. Tamat.
Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Pernah Menjabat sebagai Manajer BMT