Kosipa di Persimpangan Jalan

oleh -107 Dilihat
oleh

Oleh : Darmanto

Bagian 1

Saat ini sedang marak Sepanduk Penolakan terhadap Koperasi Simpan Pinjam (Kosipa) di beberapa kampung, Desa bahkan mengatas namakan wilayah Kecamatan di Banten.

Penulis mengamati keberadaan Kosipa yang lebih dikenal Bank Keliling yang sudah berpuluh-puluh tahun berbaur dengan masyarakat, tentu tidak sedikit masyarakat yang sudah merasakan bahwa Bank Keliling merupakan bagian dari kehidupannya. Kenapa tidak? Mereka para penikmat jasa Kosipa para pedagang kecil seprti tukang sayuran, tukang kue bakulan, para pedagang makanan kecil di kantin-kantin sekolah, para pedagang cilok, pedagang di Pasar, warungan bahkan tidak sedikit masyarakat yang terbiasa memenuhi kebutuhan hidup seperti membiayai anak sekolah, modal pertanian, “Muludan” dan lainnya masih bergantung pada jasa Kosipa.

Kenapa Kosipa lebih bermasyarakat daripada KUR? Kosipa tentunya lebih simpel tidak berbelit-belit, tidak makan waktu untuk ngantri, tidak ada formulir, tidak ada biaya matrai, tidak memerlukan jaminan, tidak memakai survai kelayakan dan tidak mesti Usahanya sudah berjalan. Asal ada kesepakatan dan sanggup mengembalikan sesuai aturan yang dibuat oleh pihak Kosipa dalam itungan menit uang yang diajukan dapat diterima sesuai kebutuhan. Cara seperti inilah yang dibutuhkan masyarakat. Andai saja negara bisa hadir melayani masyarakat laksana kosipa melalui program KURnya tentu akan bisa mengalahkan Kosipa.

Masyarakat tidak menyadari apa yang sedang ia jalani melalui pinjaman Kosipa. Apakah akan dapat meningkatkan tarap hidupnya sehingga kehidupannya lebih baik? atau sebaliknya akan menyengsarakan hidupnya. Secara kasat mata kita bisa melihat secara langsung dampak dari Kosipa di sekitar tempat kita tinggal. Betul mereka tertolong dan bisa menjalankan usahanya dengan modal pinjam dari Kosipa, setidaknya mereka bisa menyambung hidup sampai hari esok anaknya bisa jajan di sekolah, bisa beli baju seragam, bahkan mereka bisa membeli Kulkas. Namun sayangnya mereka penikmat jasa Kosipa kurang ahli di dalam perhitungan Rugi-Laba dalam berusahanya. Mereka hanya berpikir yang penting ada untuk hari ini dan esok. Bagaimana tidak rugi? Begitu cair uang kosipa sudah berkurang 20–25%, baru menginap 1 malam di rumah belum juga diputar modalnya besok siangnya harus sudah mulai mengangsur dengan ketentuan yang sudah diatur sepihak oleh Kosipa.

Secara ekonomi jelas sangat merugikan. Banyak korban peminjam Kosipa yang tidak mampu mengembalikan modalnya karena uang yang dipinjam hanya untuk konsumtif sekalipun diputar untuk modal usaha masih jauh untuk meraih keuntungan akhirnya tidak sedikit warga masyarakat yang jadi nasabah dikejar-kejar para kolektor Kosipa akhirnya kabur tidak diketahui rimbanya sementara atasannya menargetkan harus masuk setoran.

Barang kali ini salah satu faktor yang membuat fsikologis para pekerja Kosipa naik pitam dan pada akhirnya lari kepada minuman keras, mabuk-mabukan sampai terjadinya pengeroyokan terhadap salah seorang Ustadz warga Pandeglang di Baros, Serang 31 Maret 2024 lalu. Bagi orang yang sedang mabuk apa yang dilakukan semua di bawah kendali kesadaran, siapapun termasuk penulis jika saat itu berada di TKP (Tempat Kejadian Perkara) bisa saja menjadi sasaran brutal para kolektor kosipa yang sedang pada mabuk. (Bersambung ke bagian 2).

Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Pernah Menjabat sebagai Manajer Baitul Maal Wa Tamwil (BMT)

banner 728x90
oleh
Penulis: Darmanto
Editor: Putra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *