Dihargai Menjelang Pemungutan, Jatuh Harga Setelah Penghitungan

oleh -78 Dilihat
oleh

Oleh : Ocit Abdurrosyid Siddiq

Pemilu dan Pilkada itu merupakan pengejawantahan dari demokrasi. Demokrasi itu salah satu model pemerintahan sebuah negara. Dalam sitem demokrasi rakyat menjadi pemilik kedaulatan. Satu orang satu suara. Peraih suara terbanyak yang mendapat dukungan dari mayoritas rakyat, menjadi yang terpilih. Baik suka maupun tidak suka.

Dalam Pemilu kita memilih pemimpin dan wakil rakyat. Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta wakil rakyat seperti DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten serta DPRD Kota. Hasil Pemilu kemarin sudah ditetapkan. Bahkan DPRD Kabupaten dan Kota serta DPRD Provinsi telah dilantik. Untuk masa jabatan 5 tahun ke depan.

Yang belum dilakukan adalah pelantikan anggota DPR RI, DPD RI, dan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. Rencananya, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming akan dilantik pada 20 Oktober 2024 mendatang sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2024-2029.

Saat ini kita sedang menghadapi pelaksanaan Pilkada serentak yang akan digelar pada tanggal 27 November 2024. Pilkada ini untuk memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Pilkada serentak kali ini menjadi pengalaman pertama bagi sebagian besar daerah-daerah di Indonesia.

Sebelumnya, pelaksanaan Pilkada di berbagai daerah dilakukan dalam waktu yang berbeda-beda. Karena tiap daerah berbeda waktu masa jabatan kepala daerahnya. Sehingga pelaksanaan Pilkada di daerah disesuaikan dengan habis masa jabatan kepala daerahnya. Karena dianggap tidak efektif dan efisien, Pilkada diputuskan untuk digelar secara serentak se Indonesia. Serentak dalam satu hari yang sama.

Pada Pilkada nanti, setiap pemilih akan mendapatkan dua surat suara. Surat suara pertama untuk memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Surat suara kedua untuk memilih calon Bupati dan Wakil Bupati, atau calon Walikota dan Wakil Walikota. Dengan menyerentakkan pelaksanaan Pilkada, diharapkan lebih efektif dan efisien.

Baik Pemilu dan Pilkada, didalamnya ada kontestasi, ada kompetisi, ada persaingan. Ada dukungan, ada kelompok-kelompok, ada kubu-kubuan. Masing-masing mempunyai target untuk menjadi yang terbanyak dipilih, untuk menjadi pemenang. Karena ada kontestasi yang memungkinkan munculnya gesekan, dibuatlah aturan berupa Undang-Undang.

UU Pemilu dan UU Pilkada menjadi acuan dan rujukan bersama untuk seluruh pihak. Sehingga dengan adanya aturan ini, penyelenggaran pesta demokrasi ini berjalan dengan baik, lancar, dan tertib. Walau demikian, kerap terjadi perbedaan pemahaman atas regulasi yang sama berupa munculnya sengketa. Baik sengketa selama proses berlangsung juga sengketa terhadap hasil pemungutan dan penghitungan suara.

Untuk menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada, diperlukan pelaksana yang bisa menggelar pesta demokrasi ini secara jujur, adil, netral, professional, cakap, dan layak. Mereka inilah yang kemudian kita kenal dengan nama KPU, Bawaslu, dan DKPP. KPU atau Komisi Pemilihan Umum merupakan pelaksana teknis. Bawaslu yang adalah Badan Pengawas Pemilu yang menjaga, mengawasi, dan memastikan seluruh tahapan berjalan dengan baik.

DKPP merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menindak penyelenggara yang nakal. Nakal karena tidak professional, tidak objektif, tidak mendasarkan langkahnya pada aturan, bahkan nakal karena perkara lainnya. Seperti misalnya asusila. Contohnya ketika DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian terhadap Ketua KPU RI yang diduga melakukan pelanggaran asusila.

Penyelenggara Pemilu dan Pilkada, yaitu KPU dan Bawaslu merupakan orang-orang pilihan yang telah melewati serangkaian test seleksi yang dilakukan secara berjenjang. Syarat paling utama bagi mereka adalah memiliki integritas dan kompetensi. Mereka bukan hanya orang-orang yang tahu dan paham tentang seluk-beluk Pemilu dan Pilkada. Mereka juga merupakan orang-orang yang bisa dipercaya menggelar pesta demokrasi ini secara objektif.

Sikap objektif ini merupakan bagian dari integritas, selain sikap lainnya seperti jujur, adil, amanah, netral, istiqomah dengan aturan, tidak tergiur dengan bujukan, godaan, rayuan, iming-iming, termasuk intimidasi, dan ancaman. Dengan demikian sosok penyelenggara itu merupakan pribadi paripurna karena dia cakap, layak, dan mendapat kepercayaan dari masyarakat.

Untuk mewujudkan Pemilu dan Pilkada yang baik dan bermartabat, penyelenggara gencar melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Seperti himbauan agar menjatuhkan pilihan secara cerdas, menghindari larangan berupa menyinggung SARA, melakukan ujaran kebencian, menyebarkan kabar bohong atau hoax, juga tidak melakukan praktik politik uang.

Politik uang dalam Pemilu dan Pilkada merupakan pelanggaran berat. Sanksinya bukan hanya administratif tetapi juga pidana. Artinya pelaku politik uang bisa meringkuk dalam penjara. Dalam Pilkada, delik politik uang ini bukan hanya berlaku pada pihak tertentu saja. Setiap orang yang terlibat didalamnya, baik pemberi maupun penerima bisa kena jeratnya.

Politik uang dalam Pilkada bisa juga dimaknai sebagai tindakan suap, sogok, atau gratifikasi. Artinya, baik si penyogok maupun yang disogok, dua-duanya bisa kena delik sanksi. Keduanya bisa dikenakan sebagai pelaku. Dalam politik uang tidak ada istilah korban, yang notabene pihak yang diasumsikan sebagai “yang terdzalimi”.

Larangan praktik politik uang itu tidak hanya berlaku bagi para peserta, partai politik, tim pengusung dan pendukung, relawan, dan masyarakat saja. Larangan ini pastinya juga berlaku bagi para penyelenggara. Lho, bukan kah mereka adalah orang-orang pilihan yang sudah terjaga integritasnya? Memang benar. Namun faktanya, ada diantara mereka yang nakal itu.

Karenanya, amat sangat ironis bila penyelenggara yang notabene pihak yang melakukan kampanye untuk menyeru dan menghimbau kepada orang lain untuk tidak melakukan politik uang, malah menjadi bagian dari praktik culas itu. Alih-alih menjadi penyelenggara yang objektif, malah ada diantara mereka yang justru menjadi bagian dari pihak-pihak yang berkepentingan itu.

Karena sikap yang tidak objektif inilah yang kemudian memunculkan persoalan sengketa diantara peserta dengan peserta, juga peserta dengan penyelenggara. Seperti halnya pada saat Pemilu kemarin, termasuk di Banten yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Aroma ketidak-beresan kerja dan tugas penyelenggara begitu amat kentara.

Alih-alih penyelenggara menjadi palawari dan pengawas pesta demokarsi yang adil, malah menjadi bagian dari pihak-pihak tertentu untuk mensukseskan kepentingannya. Langkah sarat resiko yang pastinya disadari dan bertentangan dengan norma sumpah saat dilantik ini, disinyalir tidak lepas dari imbalan yang didapatkan. Bau amis rupiah ini begitu menyengat!

Karena perilaku penyelenggara yang demikian -melacurkan idealismenya dengan imbalan- pastinya akan membuat harga dirinya jatuh hingga ke titik nadir. Mau ngomong perkara apapun tentang kebenaran dan idealisme, bukan hanya tidak akan didengar. Malah lebih dari itu akan menuai cibiran. _Omon-omon doang! Ngajaran ka batur kadoang kitu, horeng kalakuan sorangan anu kitu!_

Sehebat apa pun penyelenggara yang berulah demikian lalu tampil di ruang publik, dan berorasi tentang kebenaran dan kejujuran, mengajarkan integritas kepada jajarannya, tetap akan selamanya bahkan seumur hidup akan selalu rendah dan tidak punya harga diri, baik di mata si penyogok atau pemberi, di mata masyarakat yang tahu ulah dan perilakunya, bahkan di mata jajarannya sendiri.

Penyelenggara sebagai orang yang memiliki kewenangan dalam Pemilu dan Pilkada, dengan jabatannya yang seksi dan strategis itu, membuat banyak orang yang ingin merapat kepadanya, banyak diburu dan didekati, begitu dihormati dan dihargai ketika menjelang pemungutan suara.

Jangan sampai melacurkan diri dengan menjadi bagian dari kelompok tertentu, dengan tujuan tertentu, dan imbalan tertentu, yang bisa membuat harga diri kalian jatuh. Karenanya, rawat integritas, jaga amanah, ingat sumpah! Dengan begitu, semoga tidak ada penyelenggara yang _“dihargai menjelang pemungutan suara, namun harga diri jatuh setelah penghitungan suara”._ Wallahualam.
***

Penulis adalah Pegiat Demokrasi dan Pemilu, Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas), Ketua Komunitas Kamus Sunda Banten, Pengurus ICMI Orwil Banten, Alumni Prodi Filsafat IAIN SGD Bandung.

banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *