Oleh: Ocit Abdurrosyid Siddiq
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru telah mengguncang lanskap politik nasional. Dalam putusan kontroversialnya, MK memisahkan antara Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, yang berdampak langsung pada perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota legislatif daerah menjadi tujuh tahun. Sebuah perubahan yang menuai pro dan kontra, serta menimbulkan pertanyaan besar: siapa sebenarnya yang diuntungkan?
Melalui skema baru ini, Pemilu Nasional – yang meliputi pemilihan Presiden-Wakil Presiden, DPR RI, dan DPD RI – tetap berlangsung lima tahunan. Namun, Pemilu Daerah yang sebelumnya serentak, kini akan digelar dua tahun setelahnya, yakni pada 2031. Artinya, kepala daerah serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang terpilih dalam Pilkada 2024 akan menjabat selama tujuh tahun, bukan lima tahun seperti sebelumnya.
Langkah ini tentu bukan tanpa alasan. MK menyebut pemisahan rezim Pemilu bertujuan untuk efisiensi, konsolidasi demokrasi, dan penguatan otonomi daerah. Namun, benarkah alasan tersebut murni demi perbaikan sistem? Atau justru ada “bonus tersembunyi” bagi para penguasa lokal?
Jika dilihat dari sudut pandang publik, keputusan ini seperti memberi hadiah besar kepada kepala daerah dan anggota DPRD terpilih. Dua tahun tambahan masa jabatan tanpa proses pemilu ulang jelas merupakan keuntungan politis. Waktu yang lebih panjang di kursi kekuasaan, tanpa harus melalui pertarungan demokrasi yang melelahkan dan mahal.
Tak bisa dipungkiri, perubahan ini memberi napas lega bagi elit lokal. Kepala daerah kini memiliki waktu lebih lama untuk merealisasikan program, atau setidaknya memperkuat posisi politiknya menjelang kontestasi berikutnya. Sementara bagi rakyat, apakah perpanjangan jabatan ini akan berarti pelayanan publik yang lebih baik, atau justru memperpanjang derita birokrasi?
Masyarakat patut mempertanyakan, apakah perubahan sistem ini melalui proses yang cukup inklusif dan melibatkan suara publik? Atau hanya menjadi keputusan elite yang manfaatnya hanya dirasakan segelintir pihak?
Di tengah kepercayaan publik terhadap institusi negara yang tengah diuji, keputusan ini berpotensi menambah jarak antara rakyat dan para wakilnya. Demokrasi seharusnya tidak hanya soal stabilitas kekuasaan, tapi juga soal legitimasi dan akuntabilitas.
Pada akhirnya, publik harus waspada. Perpanjangan masa jabatan bisa saja menjadi jalan mulus menuju kemapanan politik yang tidak sehat. Apalagi jika tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif masyarakat.
Demokrasi tidak hanya tentang siapa yang berkuasa lebih lama, tetapi bagaimana kekuasaan dijalankan untuk kepentingan rakyat.
Penulis Adalah Penggiat Demokrasi dan pernah menjadi penyelenggara pemilu dan pemilukada di Banten.