Kurikulum Cinta, Membaur Tanpa Melebur

oleh -1016 Dilihat

Kurikulum Cinta, Membaur Tanpa Melebur

_Ocit Abdurrosyid Siddiq

Ada 3 tipe kelompok penganut agama. Pertama, penganut agama yang meyakini kebenaran ajaran agamanya tanpa memedulikan apakah ajaran agama lain itu benar atau salah.

Kedua, penganut agama yang meyakini kebenaran ajaran agamanya dan menganggap ajaran agama lain itu salah, serta menyertainya dengan perilaku mencari celah salah itu.

Ketiga, penganut agama yang meyakini kebenaran ajaran agamanya, sembari mencari titik temu persamaan ajaran agamanya dengan ajaran agama lain.

Bila muncul polemik dan konflik yang melibatkan penganut antar umat beragama, karena masing-masing penganut agama tidak hanya meyakini kebenaran ajaran agama sendiri.

Tetapi juga menyertainya dengan mencari celah salah ajaran agama lain. Mengorek dan mencari-cari kesalahan yang kemudian dijadikan alasan untuk mengklaim bahwa hanya agamanya yang benar. Yang lain salah!

Sejatinya, perilaku mengorek dan mencari celah salah ajaran agama lain sebagai justifikasi atas benarnya agama sendiri, bisa menjadi pembenar bahwa dia tidak yakin atas kebenaran ajaran agama sendiri.

Bila masing-masing penganut agama bersaing untuk mencari celah salah dalam ajaran agama lain, itulah yang menjadi pemantik polemik, konflik, bahkan perang antar penganut agama.

Ulah mencari celah salah itu diperparah oleh cara pandang yang keliru dan tidak tepat; menakar ajaran agama lain dengan takaran dan cara pandang ajaran agama sendiri.

Orang Islam yang menganggap bahwa denting piano yang menjadi bagian dari prosesi ibadah dalam gereja sebagai sebuah sikap konyol, tidak berbeda dengan anggapan penganut Katolik atas marhaba di musola. Konyol juga.

Orang Islam yang beranggapan bahwa menangis di tembok ratapan yang biasa dilakukan oleh penganut Yahudi adalah sikap konyol, tidak berbeda dengan anggapan orang Yahudi atas Islam yang susah payah mencium hajar aswad. Juga konyol.

Orang Islam yang menuduh bahwa perilaku penganut Konghucu membersihkan patung dewa menjelang Imlek adalah sebuah kekonyolan, sejatinya tidak berbeda dengan perilaku orang Islam yang membersihkan benda pusaka pada bulan tertentu.

Orang Islam yang mengira bahwa pohon-pohon dibungkus dengan kain hitam-putih dalam ajaran agama Hindu sebagai sebuah perilaku sia-sia, tidak berbeda dengan anggapan orang Hindu atas kebiasaan orang Islam membungkus nisan dengan kain putih. Sia-sia juga.

Keliru-paham seorang penganut agama atas ajaran, ritual, prosesi ibadah, dan kebiasaan dalam agama lain itu, karena selain masing-masing menakarnya dari sudut-pandangnya, juga karena sebatas membaca teks. Bukan konteks.

Penganut Islam mencari celah salah Alkitab. Penganut Katolik mencari celah salah Alquran. Pada kasus tertentu hingga sampai pada penistaan. Aksi dan reaksi saling berbalas.

Mualaf jadi pendakwah. Lalu ceramahnya digandrungi, karena banyak bercerita tentang kesalahan-kesalahan dalam Alkitab.

Sebaliknya, seorang yang murtad dielu-elukan keluarga barunya. Karena dianggap banyak membongkar kesalahan dan kelemahan Alquran.

Padahal, pada masing-masing ajaran agama terdapat ajaran untuk mewujudkan kedamaian, persatuan, kerukunan, saling asah, saling asih, dan saling asuh.

Mengapa masing-masing umat beragama tidak tertarik untuk mencari sisi kesamaan pada masing-masing ajaran agamanya? Bukankah dengan semakin banyak irisan kesamaan semakin mendekatkan, dan dengan begitu terwujud perdamaian dan kedamaian?

Ikhtiar mencari irisan kesamaan antara ajaran satu agama dengan ajaran agama lain, bukan dalam rangka menyamakan semua agama.

Karena Tuhan pun sengaja menciptakan manusia dalam bentuk beragam, bahwa _“Ku sengaja ciptakan kalian dalam bentuk berbeda dan beragam agar kalian mikir”._

Meyakini kebenaran ajaran agama sendiri, itu wajib. Menganggap salah atas ajaran agama lain, itu boleh. Tapi tak perlu mencari celah salah. Sebaiknya, carilah sisi samanya.

Konsep rahmatan lil alamin ada pada tiap ajaran agama. Tentu dengan istilah yang berbeda. Bahwa ajakan menebar kebaikan, kedamaian, persatuan, ada dalam tiap agama.

Andai masing-masing penganut agama lebih mengedepankan sisi kesamaan, bukan saling mengorek kelemahan dan kesalahan, maka konsep rahmatan lil alamin kebenarannya bukan hanya sebatas firman.

Pada celah itulah hadir Kurikulum Cinta yang digagas Menteri Agama RI Nasarudin Umar. Kehadirannya, bukan untuk menyamakan ajaran agama-agama. Tetapi untuk memperbanyak irisan kesamaan ajaran agama.

Kasih sayang, saling meneghargai, saling menghormati, saling menolong, menjaga kebersihan, tertib dalam antrian, akhlak, adab, etika, dan perkara muamalah lainnya, ada pada tiap ajaran agama. Pada sisi itulah terdapat irisan kesamaan.

Sementara syahadat dalam Islam, baptis dalam Kristen, sakramen dalam Katholik, yadnya dalam Hindu, magha puja dalam Budha, merupakan ajaran inti masing-masing agama sebagai pembeda antara satu agama dengan agama lain.

Pembeda itulah yang menjadi ciri khas masing-masing agama, yang menjadi justifikasi bagi penganut masing-masing agama bahwa agamanya lah yang paling benar, tanpa harus mengembelinya dengan stigma bahwa agama lain sesat dan menyesatkan.

Kurikulum Cinta mengajak seluruh umat beragama untuk bersatu dalam muamalah dan istiqomah dalam aqidah. Kurikulum Cinta membuat umat beragama bisa membaur namun tidak melebur. Disitulah makna tersirat dari _lakum dinukum waliyadin._ Wallahualam.

***

Tangerang, Ahad, 16 Maret 2025

_Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (FORDISKA LIBAS)_

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *