Catatan Sejarah Kecamatan Teluknaga

oleh -20 Dilihat
oleh

Oleh : Budi, SP.d.

BUNGA RAMPAI dan catatan sejarah ataupun literasi terbentuknya kecamatan teluknaga adalah sebuah harapan dan optimisme .

“Bunga rampai sejarah” adalah kumpulan tulisan ilmiah atau buku yang berisi berbagai macam tulisan serta catstan mengenai topik sejarah tertentu, yang biasanya ditulis oleh beberapa ahli dan sumber literasi dengan sudut pandang yang berbeda. Istilah “bunga rampai” juga mengacu pada kumpulan karya tulis ilmiah (KTI) yang saling terhubung oleh “benang merah” topik yang sama dan disusun secara logis.

Bunga rampai sejarah Teluknaga mencakup asal-usul namanya dari kedatangan Laksamana Chen Ci Lung dari Tiongkok pada tahun 1407 yang kapalnya berhias ukiran naga, sehingga dikenal sebagai “Teluk Naga”.

Sejarahnya juga meliputi percampuran budaya Tionghoa dan Banten akibat dari kedatangan mereka, peran Teluknaga sebagai gerbang masuk pedagang Tiongkok ke nusantara melalui Sungai Cisadane, dan perkembangan wilayahnya menjadi pusat ekonomi dengan campuran nuansa pesisir dan modern.

Rencana Penetapan Hari lahir Kecamatan Teluknaga oleh Pihak pemerintah Kecamatan Teluknaga di bawah kepemimpinan Camat Kurnia SSTP MSi dan Sekcam Ferry Zulfian SH MH yang menjabat sejak 16 juli 2025 akan segera membuat penetapan Milad berdasarkan catatan Sejarah pasca Indonesia Merdeka dan tetbentuknya Pemerintah Kabupaten Tangerang juga implikasi terkait dengan penetapan hari lahir Kecamatan Teluknaga.

Menjadi sebuah kajian histriografi tentang pembentukan kecamatan Teluknaga yaitu akan jatuh pada Tanggal 8 Agustus 1950 betepatan dengah pelantikan Camat Teluknaga pertama oleh Gubernur Jawa Barat pasca Republik Indonesia merdeka seperti di lansir situs resmi ppidtangerangkab.go.id

Berdasar data Arsip kantor Pemprov Jawa Barat melalui situs dispudipda.jabarprov.go.id bahwa pada Tahun 1950, ada dua tokoh yang menjabat sebagai Bupati Tangerang, yaitu R. Ahyad Pena (Bupati RI, memimpin hingga 1952) dan R.B. Nusrat Jayadiningrat (Bupati Pasundan, menjabat dari tahun 1948-1950).

R. Ahyad Pena: Menjabat sebagai Bupati RI setelah periode Bupati Militer. Ia memimpin wilayah Tangerang hingga tahun 1952.

R.B. Nusrat Jayadiningrat: Menjabat sebagai Bupati Pasundan dan menjabat dari tahun 1948 hingga 1950.

Pada tahun 1950 Gubernur Jawa Barat adalah Ukar Bratakusumah yang menjabat hingga awal tahun 1950, kemudian dilanjutkan oleh RM Sewaka yang kembali menjabat sebagai gubernur dari tahun 1950 hingga 1951.

Ukar Bratakusumah: Menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat dari akhir 1948 hingga tahun 1950.

RM Sewaka Mulai menjabat kembali pada tahun 1950, setelah sebelumnya menjabat pada tahun 1947-1948, dan terus menjabat hingga tahun 1951.

Kecamatan Teluknaga Pasca Kemerdekaan RI

Pada tanggal 21 Oktober 1945, Pemerintah Dewan struktur Tangerang membagi wilayah Tangerang menjadi 4 daerah tingkat II (dua) dan 13 daerah tingkat III (tiga). Keempat daerah tingkat II itu meliputi:

* Daerah Tingkat II Tangerang, kepala daerahnya Sutadikarta, bekas jaksa Tangerang.

* Daerah Tingkat II Curug, Kepala daerahnya Sayitun yang sebelumnya menjabat Kepala Pertanian Curug.

* Daerah Tingkat II Mauk, Kepala Daerahnya Haji Ardani yang sebelum itu menjadi guru ngaji di kampung Rajeg.

* Daerah Tingkat II Balaraja, Kepala Daerahnya Sanusi yang sebelum itu menjabat sebagai pimpinan Bank Rakyat Tangerang.

Simbol-Simbol Budaya di Teluk Naga.

Ciri khas Teluk Naga yang mencolok adalah keberadaan perahu naga yang melintasi Sungai Cisadane. Hingga kini, tradisi tersebut menjadi simbol yang melekat pada daerah ini.

Selain itu, dua vihara besar, yaitu Vihara Tri Maha Dharma dan Vihara Hok Tek Bio, menjadi tempat ibadah penting bagi komunitas Tionghoa setempat. Kampung Kali Jaya , yang terletak di Desa Kampung Melayu Barat, juga menjadi daya tarik unik.

Wilayah ini memancarkan harmoni antara mayoritas masyarakat Tionghoa dan penganut agama lainnya. Sementara itu, Tanjung Pasir, salah satu destinasi wisata di Teluk Naga, menawarkan perjalanan singkat menuju Pulau Untung Jawa. Sehingga menjadikannya pilihan favorit wisatawan daripada rute melalui Ancol yang lebih mahal dan memakan waktu.

Kisah Pahlawan Lokal: Si Ayub dari Teluk Naga

Dalam sejarahnya, Teluk Naga Tangerang memiliki cerita rakyat yang menginspirasi tentang seorang jagoan lokal bernama Syech Al-Ayubi, atau lebih terkenal sebagai Si Ayub. Ia populer sebagai pahlawan yang melawan penindasan penjajah pada masanya.

Kisah perjuangan Si Ayub bahkan pernah diangkat ke layar lebar pada tahun 1970-an. Hal tersebut tentu saja mempertegas warisan sejarah daerah ini.

Kesenian Tradisional: Tarian Cokek

Salah satu seni budaya khas Teluk Naga adalah tarian Cokek yang merupakan perpaduan kesenian Betawi dan Tionghoa. Awalnya, tarian ini ditampilkan untuk menghibur para saudagar Tionghoa pada pesta pernikahan atau acara hiburan lainnya.

Namun, seiring waktu, tarian Cokek berkembang menjadi bentuk kesenian yang dilestarikan oleh generasi muda di Tangerang dan sekitarnya.

Harmoni Multikultural di Teluk Naga

Teluk Naga adalah contoh nyata kehidupan multikultural yang harmonis. Masyarakatnya menjunjung tinggi nilai saling menghormati dan kebersamaan. Selain itu, keberagaman pola kehidupan masyarakatnya membuat Teluk Naga layak mendapat julukan sebagai “miniatur Tangerang,” dengan kombinasi antara kehidupan perkotaan modern dan tradisional.

Potensi Strategis ekonomis Teluk Naga

Secara geografis, Teluk Naga berbatasan dengan Kecamatan Kosambi di timur, Kecamatan Pakuhaji di barat, serta laut yang terhubung dengan Kepulauan Seribu di utara.

Letaknya yang dekat dengan Jakarta dan Bandara Soekarno-Hatta memberikan potensi besar sebagai daerah penunjang ibu kota dan juga penyangga kawasan pemukiman baru yang bisa menarik pendapatan asli daerah kabupaten Tangerang.

Sejarah Teluk Naga Tangerang adalah gambaran harmonis perpaduan budaya, sejarah, dan kehidupan modern. Dengan keindahan alam, kekayaan budaya, dan toleransi yang tinggi, daerah ini menjadi salah satu kawasan yang layak untuk kita lestarikan dan kembangkan secara berkelanjutan.

Teluk Naga bukan hanya simbol akulturasi, tetapi juga harapan bagi masa depan Tangerang yang lebih inklusif dan maju.

Penulis adalah Alumni Jurusan Pendidikan sejarah Uhamka Jakarta juga Kasi Binwasdes Kecamatan Teluknaga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *