TANGERANG, (JT) – Aksi kekerasan dalam pondok pesantren (Ponpes) kembali terjadi di Kabupaten Tangerang. Alhasil, salah satu santri Pondok Pesantren Tarbiatul Mubtabiin, Kp. Pasir Nangka RT 004/002, Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, dilaporkan ke polisi, Minggu (5/5/2024).
Salah satu keluarga korban, H Retno Juarno mengungkapkan, akibatnya aksi pemukulan yang dilakukan oleh santri tersebut, korban mengalami pecah gendang telinga. Hal ini diketahu setelah korban menjalani visum et repertum di Rumah Sakit Ciputra Hospital. Setelah dilakukan mediasi dengan pihak keluarga pelaku dan keluarga korban, tidak terjadi kesepakatan.
“Kami menuntut gantirugi kepada pihak keluarga pelaku untuk memberikan biaya pengobatan korban sampai sembuh. Kami minta uang pengobatan itu dititipkan ke pengelola ponpes, tapi pengelola ponpes menolaknya,” terang Retno.
Retno menilai, tindakan anarkis yang dilakukan santri di Ponpes Tarbiatul Mubtabiin ini terjadi akibat lemahnya pengawasan pihak pondok pesantren. Apalagi, kejadian itu terjadi sekitar pukul 22.00 malam hari, yang seharusnya santri tengah beristirahat.
“Kejadiannya sekitar jam sepuluh malam, saat itu si korban sedang nyuci pakaian. Ini jelas akibat lemahnya pengawasan dari pihak ponpes,” tegas Retno.
Atas kejadian tersebut, akhrnya pihak keluarga melaporkan kasus ini ke Polresta Tangerang dan diterma oleh Satreskrim dengan No Surat Laporan : LP/B/390/V/2024/Sat Reskrim Polresta Tangerang.
“Ini sebagai efek jera buat pelaku penganiayaan, agar kedepan tidak terjadi lagi di lingkungan pondok pesantren,” tegas Retno.
Ditemui terpisah, Humas Pondok Pesantren Tarbiatul Mubtabiin H. Ahmad Hariri membenarkan adanya kejadian tersebut. Menurut H Hariri, memang kejadian tersebut luput dari pengawan petugas ponpes karena terjadi pada larut malam, yakni sekitar pukul 00.00-02.00 WIB. Sehingga para ustad yang melakukan pengawaan juga sedang tidur.
“Kejadian tersebut, dikatahui pasca solat subuh, ketika si korban diabsen ternyata tidak hadir pada solat subuh berjamaah. Setelah dicek ternyata sakit dan menurut informasi habis berantem sama pelaku,” ujar H. Hariri kepada wartawan.
Mendengar kejadian tersebut, pihak ponpes langsung memanggil kedua orang tua dari santri yang menjadi korban maupun menjadi pelaku pemukulan. Dalam mediasi yang digelar dua kali, keluarga korban tetap tidak mau menandatangani kesepakatan atau perjanjian. Padahal pihak keluarga pelaku sudah menyanggupi apa yang diminta keluarga korban.
“Keluarga pelaku sudah menyanggupi apa yang diminta keluarga korban, tapi keluarga korban meminta uangnya dititipkan di pengelola Ponpes. Kami dari pihak ponpes menyarankan urusan uang langsung saja antara kedua belah pihak, kan kami sifatnya hanya memediasi saja,” terang Hariri.
Hariri menambahakan, jika sekarang kasus ini dilaporkan ke pihak kepolisian, pihaknya malah tau dari media massa yang mengkonfirmasi masalah tersebut. Sebagai warga negara yang taat hukum, pihaknya akan menghargai proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian.
“Kalau memang itu harus diproses secara hukum, ya tentu kami akan menghargai proses hukum yang sedang berjalan. Saya berharap ada upaya damai dari pihak keluarga pelaku maupun dari keluarga korban,” tandasnya.
Untuk diketahui menurut Hariri, pihaknya sudah memberikan skorsing terhadap pelaku untuk tidak mengikuti pembelajaran sampai adanya pencabutan skorsing yang waktunya belum ditentukan. Sementara untuk anak yang menjadi korban pemukulan sendiri, saat ini sudah kembali ke pondok pesantren dan bisa mengikuti pembelajaran secara normal.