Oleh: Ahmad Saepul Bahri
Baru-baru ini, publik disuguhi kabar mengenai gagalnya panen jagung di lahan yang dikelola oleh Polresta Tangerang. Program yang awalnya digadang-gadang sebagai bentuk dukungan terhadap ketahanan pangan nasional ini justru berakhir dengan hasil yang nihil. Namun, di balik kerugian material tersebut, terdapat persoalan yang jauh lebih mendasar: sebuah potret nyata mengenai disorientasi fungsi institusi negara.
Keterlibatan kepolisian dalam urusan agrikultur adalah fenomena yang unik sekaligus ganjil. Secara konstitusional, melalui UU No. 2 Tahun 2002, mandat utama Polri sudah sangat terang benderang: memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan dan pelayanan. Tidak ada satu pun klausul yang mewajibkan—atau bahkan menyarankan—anggota kepolisian untuk memegang cangkul dan mengurus benih.
Kegagalan panen ini membuktikan bahwa pertanian bukan sekadar aktivitas “menanam lalu ditinggal”. Ia adalah disiplin ilmu teknis yang memerlukan kompetensi agronomi, pemahaman unsur hara, hingga manajemen hama. Ketika sebuah institusi yang terlatih untuk menangani senjata dan hukum mencoba mengintervensi lahan tani tanpa keahlian khusus, kegagalan bukan lagi kemungkinan, melainkan kepastian.
Setiap personel yang dikerahkan ke ladang jagung adalah personel yang ditarik dari fungsi aslinya. Publik patut bertanya: berapa banyak laporan warga yang tertunda? Berapa jam waktu patroli yang hilang? Dan berapa besar energi penyidikan yang teralihkan hanya demi mengurus tanaman yang akhirnya layu?
Di sinilah letak disorientasi tersebut. Ketika batas-batas antar-lembaga menjadi kabur, efektivitas birokrasi pun merosot. Polisi seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas mafia pupuk atau mengawal jalur distribusi pangan dari penimbun—bukan menjadi petani dadakan. Menjaga ketahanan pangan lewat fungsi penegakan hukum jauh lebih berdampak daripada menanam jagung secara seremonial.
Kegagalan di Tangerang ini harus menjadi alarm bagi pimpinan instansi pemerintah lainnya. Kita sedang terjebak dalam budaya “serba bisa” yang dangkal. Institusi cenderung ingin terlihat aktif dalam isu strategis nasional (seperti ketahanan pangan), namun seringkali melupakan kedalaman kualitas pada tugas pokoknya sendiri.
Jika Polri ingin membantu ketahanan pangan, caranya bukan dengan berkompetisi dengan petani di ladang, melainkan dengan memastikan para petani bisa bekerja tanpa gangguan premanisme, tanah mereka tidak diserobot secara ilegal, dan harga pasar tidak dipermainkan oleh spekulan.
Jagung yang gagal panen di Tangerang adalah simbol dari niat baik yang salah alamat. Kita tidak butuh polisi yang pandai bertani; kita butuh polisi yang profesional dalam menjaga keamanan. Sudah saatnya setiap lembaga negara kembali ke khitah, fokus pada spesialisasi fungsinya, dan berhenti menghamburkan sumber daya untuk agenda-agenda pencitraan yang tidak produktif. Biarlah petani mengurus ladangnya, dan biarlah polisi mengurus keamanan kita.
Penulis adalah Wakabid Organisasi DPC GmnI Kab. Tangerang.






